Rabu, 10 Juni 2015

KEMELUT DI GOLKAR



( Tinjauan dari sisi hukum )



Saya akan menerangkan mengenai permasalahan terhadap kemelut golkar dari sisi hukum. Partai politik seharusnya menjadi teladan dalam pendidikan politik bagi masyarakat. Namun, fungsi tersebut sering bersilang sengkarut dengan tujuan naluriah partai, yakni untuk meraih kekuasaan. Atas dasar tujuan tersebut, agenda pendidikan politik dan rekrutmen pemimpin sering terabaikan. Kerap terjadi gejolak dan benturan dengan partai lain, bahkan di dalam tubuh partai itu sendiri. 

Itulah yang kini sedang melanda Partai Golkar. Partai berlambang beringin itu terbelah dua faksi, yakni faksi Munas Bali yang diketuai Aburizal Bakrie dan kubu Munas Ancol yang dipimpin Agung Laksono. Mahkamah Partai Golkar yang digadang-gadang bisa menyelesaikan konflik mengeluarkan putusan abu-abu. Empat anggota mahkamah partai tidak bulat memutus sengketa itu. 

]Kesamaan pendapat terjadi antara Muladi dan HAS Natabaya yang memutuskan tidak memenangkan satu pihak, sementara Djasri Marin dan Andi Mattalatta secara tegas memenangkan kubu Agung Laksono.

Putusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dua hari lalu yang mengesahkan kepengurusan versi Agung Laksono ternyata juga tidak mendorong kedua faksi segera bersatu. Kubu Aburizal malah melakukan langkah hukum dengan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Tidak sampai di situ, badai di tubuh Golkar juga merembet ke pidana setelah kubu Aburizal melaporkan dugaan mandat palsu yang dilakukan sejumlah pengurus versi Agung Laksono.

Perseturuan internal Golkar tidak hanya di DPP, tetapi juga merembet ke provinsi dan kabupaten/kota. Di Lampung, Golkar memiliki dua kepengurusan, yakni Ketua DPD I versi Munas Bali di bawah kendali M Alzier Dianis Thabranie dan Ketua DPD I Golkar versi Munas Ancol Heru Sambodo.

Akar dari konflik ini sebenarnya adalah perbedaan orientasi dua faksi. Faksi Agung Laksono ingin bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sedangkan faksi Aburizal ingin menjadi oposisi bersama Koalisi Merah Putih (KMP). Konflik yang berlarut-larut ini jika tidak segera diselesaikan akan semakin memperburuk citra Golkar di masyarakat.

 Bahkan, bisa mengancam eksistensi partai itu dalam pemilihan umum kepala daerah serentak yang akan digelar akhir tahun ini. Partai yang memiliki jumlah kursi yang cukup signifikan itu terancam tidak bisa mengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Kedua kubu sudah sepatutnya menyamakan persepsi tentang posisi Golkar pasca-Pilpres 2014. Berada dalam pemerintahan tidaklah haram. Begitu juga jika ingin menjadi oposisi juga pilihan yang baik, asalkan tidak bertujuan merongrong pemerintah. Seluruh kader Golkar harus kembali bersatu melakukan konsolidasi untuk menyusun program sekaligus menyongsong pemilukada serentak 2015 dan mempersiapkan Pemilu 2019.

 Di negara hukum ini, semua orang harus menghargai proses hukum lebih dari cara-cara yang lain, apalagi cara anarki. Itu sebabnya, sambil menunggu kepastian hukum yang final, semua pihak yang bertikai hendaknya saling membuka diri untuk berislah. Beringin harus kembali teduh mengayomi seluruh kader. Sebab, mengayomi, menyejahterakan rakyat, dan menyiapkan pemimpin berkualitas lebih penting ketimbang berkonflik.

Perpecahan pun tak lagi terbendung, setelah Agung Laksono (Wakil Ketua Umum) bersama para sekutunya sesama rival ARB membentuk Presidium Penyelamat Partai Golkar (P3G). Beberapa jam sebelum tercetusnya P3G, pecah ‘insiden penyerbuan’ oleh sekelompok massa mengatasnamakan organ AMPG di Kantor DPP Golkar, saat pengurus DPP sedang membahas tindak lanjut keputusan Rapimnas Yogyakarta perihal pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) IX Golkar pada 30 November 2014. 

Beda pendapat soal jadual pelaksanaan Munas menjadi alasan terpecahnya partai beringin. Kubu ARB, untuk dan atas nama mengamankan keputusan Rapimnas Yogyakarta, bersikeras menyelenggarakan Munas pada 30 November. Sedangkan kubu Agung Laksono menuntut Munas tetap diselenggarakan pada Januari 2015 sesuai keputusan Rapat Pleno DPP Golkar yang linear dengan hasil Munas VIII Pekanbaru 2009. 

 Alasan yuridis yang dikemukakan kubu ARB adalah, kedudukan hukum Rapimnas lebih tinggi dibandingkan Rapat Pleno DPP, dan  berada satu tingkat di bawah Munas. Alhasil, bila tidak ada hal luar biasa yang memaksa terjadinya penundaan, maka Munas IX Golkar bakal tetap digelar di Bali pada 30 November hingga 3 Desember. 

Seorang tokoh Golkar asal Nusa Tenggara Timur, Melchias Markus Mekeng, yang  juga seorang intelektual ekonomi,  melukiskan perihal dahsyatnya kemelut di tubuh Golkar dengan pernyataan agak menyengat, yakni “ada manipulasi demokrasi di Golkar”.  Seolah-olah ada demokrasi di Golkar, padahal sebenarnya tidak. Demokrasi di Golkar hanyalah kemasan. Pernyataan ini mengandung makna bahwa yang terjadi di Golkar sebenarnya adalah ‘demokrasi seolah-olah’. 

Dalam perkembangan terkini, seperti dikutip beberapa media nasional, Mekeng melakukan perlawanan terbuka terhadap ARB. Terkini, Anggota DPR-RI asal NTT ini, melemparkan pernyataan yang lebih menyengat; bahwa ARB lebih baik fokus mengurusi masalah hutangnya daripada mengurus partai atau negara. 

Sebagai partai tertua dalam sejarah politik kontemporer Indonesia, Golkar tentu memiliki kematangan dalam urusan pelembagaan demokrasi.  Dalam banyak pengalaman konflik kepartaian, Golkar mempunyai daya tahan yang tangguh dalam mengelola konflik faksionalitas di dalam tubuhnya sendiri.  Alhasil, Golkar menjadi semacam rujukan atau tolak ukur dari kemajuan peradaban budaya demokrasi di Indonesia. Suka tidak suka, senang tidak senang, para pihak lain di luar Golkar pun mesti mengakui bahwa Golkar memiliki kematangan politik dalam hal pengelolaan kehidupan berdemokrasi. 

Kini, mengapa Golkar bisa terpecah? Mengapa pula ada elemen Golkar yang tergoda melakukan huru-hara fisik, padahal kekuatan Golkar selama ini justru berada di area rasionalitas, area dimana wacana dan pemikiran subur berproduksi? Dengan demikian, perpecahan Golkar saat ini menjadi penanda yang sungguh berbahaya bagi Golkar sendiri, bahwa partai yang sarat pengalaman ini justru sedang berjalan mundur memasuki fase kegelapan demokrasi. Perpecahan dan huru-hara fisik yang terjadi, dengan demikian boleh disebut sebagai “anomali (keanehan)” terbesar di tubuh Golkar. Quo vadis Golkar usai retak? Mau ke mana Golkar yang kini tertampar oleh anomali politik memalukan itu? 

Perpecahan di tubuh Golkar akibat manuver dan saling telikung diantara para calon ketua umum, yakni antara calon incumbent (ARB) si satu sisi dan dengan para seterunya antara lain Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Airlangga Hartarto, bakal merembes secara cepat ke area barisan kader Golkar, mulai dari level pusat hingga ke struktur kecamatan bahkan desa. Pun, bakal mengganggu secara sangat serius soliditas organisasi pendiri dan yang didirikan Golkar (baca: kino Golkar).

Kubu-kubu yang bertikai di Golkar berupaya menunjukkan sikap tulus untuk menjaga eksistensi sekaligus masa depan partai. Namun, seperti lazimnya, di panggung politik praktis, sungguh sulit mengukur kadar ketulusan.  Yang bisa ditakar hanyalah kepentingan. Bila kepentingan saling bertautan, maka ketulusan datang menampakkan wajah.  Tapi, jika kepentingan saling berpunggungan, maka ketulusan pun beranjak pergi memalingkan rupa. 

Apa gerangan yang membuat ARB bersikeras maju kembali sebagai calon ketua umum? Apa pula alasan yang membuat Agung Laksono cs bersikeras menghadang langkah ARB? Ragam spekulasi politik pun berseliweran. Dalam konteks politik kekinian, spekulasi terkuat yang melatari huru-hara Golkar adalah “political positioning” terhadap rezim berkuasa hasil Pilpres 2014.  Ada tarik-menarik yang kuat antara kubu yang menginginkan Golkar ikut koalisi rezim berkuasa,  dengan kubu yang menghendaki Golkar melakoni watak barunya sebagai kekuatan oposan. 

Di ranah parlemen, Golkar menjadi pemain kunci dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang berdiri vis a vis dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Tampaknya ARB berkepentingan mengawal peran sentral Golkar di KMP. Sedangkan para seteru ARB sangat mungkin menggiring Golkar berkoalisi dengan rezim berkuasa.

 Kendati dianggap kurang berprestasi memimpin Golkar selama lima tahun berjalan, tapi satu hal yang patut diapresiasi  pada ARB adalah kemampuannya membentuk watak baru Golkar sebagai kekuatan oposan, idem ditto penyeimbang.  Mungkin konsistensi menjadi kekuatan penyeimbang inilah yang sedang jadi pertaruhan ARB. Respek kolektif Golkar pada ARB sangat mungkin berlipatganda jika dia secara legowo membuka jalan regenerasi!

Bahwa dapat saya simpulkan mengenai dari kemelut golkar tidak ada kecocokan dalam mengenai tindakan yang tidak secara bersamaan dalam mengambil keputusan. Dimana  kita tahu bahwa partai golkar merupakan partai yang selalu membawa kesejahteraan bagi masyrakat umum dan dalam pemilihin umum partai golkar lah yang selalu menang, tapi kenyataannya partai golkar sendiri banyak mengalami kemunduran. 

Maka dari sisi hukum disini dari anggota Agung Laksono banyak melakukan tindakan yang tidak sesuai yang bisa melanggar hukum seperti memiliki para preman bayaran yang dimana menggunakan senjata tajam untuk memilih kubu dari Agung Laksono tersebut. Saharusnya dari masing-masing anggota kubu dapat berunding secara bersamaan dengan perwakilan dari Jusuf Kalla yang dimana ia juga memegang dari partai golkar dan sebagai wakil presiden. Sehingga dari pencapaian tujuan bersama maka terciptalah keharmonisan dari kubu Abu Rizal Bakrie dan kubu Agung Laksono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar